Tidak semua yang aku tulis adalah yang aku rasakan

Kamis, 26 Desember 2013

Aku Terbiasa Tanpa Perhatianmu

Aku rasa, jarak antara kamu dan aku tidak jauh. Bagaimana aku bisa membuatmu tinggal di satu kota denganku, sedangkan dikota yang berbeda kini kamu sibuk mengejar cita-citamu. Rasa kesalku terobati, setelah kamu meyakinkanku bahwa kamu akan selalu menghubungiku. Aku tidak merasa jauh denganmu, dengan semua rayuan yang selalu kamu selipkan diantara pesan handphone atau lewat email. Tak jarang kamu menelponku hanya dengan alasan ingin mendengar suaraku. Aku nyaman, aku merasa tidak ada yang berbeda diantara kita. Diantara kesibukanmu, kamu selalu ada waktu untuk menceritakan semua yang terjadi dikampusmu padaku. Walaupun larut malam baru bisa kau menghubungiku, walaupun dengan kantuk yang sempat mendarat dikelopak mataku. Aku tak pernah melewatkan untuk menunggu nada pesan masuk dalam handphoneku. Mungkin tak ada satu atau dua jam yang aku lalui denganmu setiap malam, tapi candaan dalam pesan ataupun telponmu itu selalu mengobati rasa rindu yang menggebu. 
Kamu tidak pernah lupa memberitahuku pengalaman yang luarbiasa aku dengar dari yang kamu dapatkan disana. Akupun begitu, kita sama-sama tau yang terjadi disekitar kita, tentunya dengan lingkup dimensi yang berbeda. Suatu saat kamu pernah terlambat menghubungiku, berkali-kali aku menghubungimu dan tidak ada jawaban. Aku benci saat itu. Hubungan aku dengan kamu seakan berhenti begitu saja, berjuta pisau tajam jatuh menusuk hatiku. Aku tak habis pikir kamu pergi begitu saja, setelah kamu selesai merangkai kata, bahwa kamu juga menyimpan rasa yang sama denganku. Aku begitu menyesal, semudah itukah aku terbuai manis ucapanmu itu. Aku begitu kecewa, semudah itukan kamu pergi dengan sejuta pertanyaanku yang belum sempat kamu jawab.
Hariku berbalik seratus delapan puluh derajat setelah kau pergi. Aku berubah menjadi seorang yang pendiam, atau bahkan bibir ini malas untuk sekedar bercerita dengan sahabat-sahabatku tentangmu. Mungkin air mata ini  mulai kering setelah habis tertumpah dan itu karenamu. Aku benci pertemuan, jika akhirnya aku pula yang merasakan sakit dengan perpisahan. Aku benci bermanja-manja denganmu, jika akhirnya aku yang mersakan bagaimana perhatianmu hilang begitu saja. Sudahlah, aku tak mau berlarut-larut dalam kesedihan hanya karena kehilangan perhatian darimu, orang yang tak lebih dari sekedar teman.
Mungkin hampir satu bulan aku tak pernah berkomunikasi lagi denganmu. Beberapa pesan yang kamu kirimkan untukku, sangat enggan aku baca. Namun lagi-lagi aku terbuai oleh kata maafmu, yang entah berapa kali kamu lemparkan padaku.
Sesekali kamu duduk diruang tamu rumahku untuk sekedar minum kopi lalu sibuk menceritakan hal yang terjadi selama kita tak bertukar cerita saat liburanmu kamu habiskan disini. Oke aku coba memahami, dan sekarang aku mulai terbiasa dengan kesibukanmu. Aku mulai terbiasa dengan jadwal kuliahmu yang membuat kamu lupa menelponku atau hanya sekedar mengucapkan selamat tidur untukku. Aku mulai terbiasa tanpa pesanmu yang tidak setiap kali setiap waktu kamu kirimkan padaku. Aku terbiasa tanpa perhatianmu.

Senin, 23 Desember 2013

Rama Shinta

Satu kisah
dalam epos kalimat India
Bertemulah sosok nan elok rupawan
Paras menawan
Cantiknya kalahkan para bidadari

Bertemu
dalam sebuah saembara
Menikah namun terusir kejam dunia
Hiduppun sengsara dalam hutan
Berkawan dengan binatang
Tertidur diatas keras batuan
Terselimuti daun-daun kering

Waktu itu,
Sang putri terbawa pergi
Angin kejahatan dari Alengka
Mulailah sebuah cerita
Gandrung Rama mencari Shinta

Perang darah
Saat terlepasnya sebuah busur panah
Mematahkan leher
Demi mendekap seorang kesayangannya
Dalam hangat peluk cintanya

Hanya Perlu Waktu

Aku perlu waktu lama tuk bangun rasa ini
Rasa yang bisa buat bahagia ataupun sebaliknya
Namun, hanya dalam sekejap
Kau ubah segalanya
Entah karena mantra apa
Kau yang dahulu mendekapku
dan menggenggam erat jemarikau
Kini berbalik menjauh tanpa dengar lagu rindu

Aku hanya berdiri
Mematung di depan pintu
Aku hanya menunggu
Hingga mawarku kian melayu
Aku hanya berharap, mataku kembali lihat sosokmu
Aku hanya bermimpi, kau ada disampingku

Aku seperti dandelion tanpa bulu-bulunya
Aku seperti merpati dengan sebelah sayapnya
Aku lelah setelah menyadari itu semua
Aku rapuh setelah rasa sakit yang meremukkan isi jantungku
Setelah kutau
kau tak lagi milikku




Lewat Cara Sebisaku, Aku Melupakanmu



Sudah hampir satu bulan aku habiskan hari-hari sepiku bersamanya. Dia yang setiap hari mengantar lalu menjemputku sekolah. Dia yang mengulurkan tanganya lalu mengucap namanya saat kita pertama kali berjumpa. Mungkin aku yang salah, menerimanya sebagai kekasihku dengan sesingkat itu. Pilihan yang aku pikir paling benar diantara pendapat dan saran dari orang disekelilingku. Dan ternyata aku salah. Aku hanya terbuai oleh manis pesannya dan melayang bersama mimpi-mimpiku untuk terus bersamanya. Aku tahu semua tak abadi, aku hanya ingin waktu lebih lama bersama dia. Dan ternyata semua tak sejalan dengan pikiranku. Lalu dengan siapa aku akan mengadu? Haruskan aku terdiam menerima kekosongan hatiku, saat kau telah memilihnya sebagai penggantiku? Aku belum siap merasakan sepinya sendiri, aku belum terbiasa tanpa pesan-pesan yang kamu kirimkan setiap hari, setiap waktu. Aku tahu diam itu membuatku semakin sakit, apalagi harus diam saat aku melihatmu menggenggam tangannya. Hangat genggaman tangan itu dulu aku rasakan tapi kini telah jatuh ditangan orang. Sampai sejauh ini, aku belum mengerti apa yang ada di otakmu dengan caramu  meninggalkanku dan memilih yang lain. Yang aku tahu, aku ini bodoh. Bodoh mengartikan setiap tulisan-tulisan yang kamu selipkan dalam pesanmu. Bodoh mengartikan hangat dekapanmu saat aku terlalu dalam memikirkan semua masalahku.
Lantas apa yang harus aku lakukan? Lewat cara sebisaku, aku melupakanmu. Mencoba merelakanmu dengan pilihanmu itu. Namun kau tau? Semakin aku mencoba melakukannya, bayangnmu selalu hadir dalam kesendirianku, semakin aku memaksanya aku malah semakin tertekan. Aku hanya belum bisa menerima kenyataan sakit ini, bagaimana tidak? Kamu meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Dan kamu memilih berjalan dengan wanita lain yang memang lebih sempurna dari aku, tapi aku belum habis pikir dia itu sahabatku. Apa kamu tahu itu?
Sekarang hariku mulai sepi, handphoneku tak lagi bergetar dengan adanya pesan atau panggilan dari nomor ponselmu. Memang aku harus terus belajar melupakanmu, melupakan perasaan sayang itu, melupakan semua sikap manjamu. Mengerti kamu bukan lagi milikku dan bukan lagi untukku. Disini sudah ada yang menggantikan posisimu, dia hampir sama sepertimu. Wajahnya, senyumnya, manjanya, dan semuanya. Tapi semakin aku mencari dan menggali lebih dalam tentang dia, aku tak menemukan satu yang sama persis denganmu. Dia memang dia, berbeda denganmu, sangatlah berbeda. Dari ini aku mulai berjalan melupakanmu, melupakan segala kenangan yang pernah kita terjadi dulu. Lalu aku akan menyayanginya sebagai dirinya bukan dalam bayanganmu itu. Bayangan semu yang hanya membuat hati pilu.
                                                                                   

                                                                                                By : Malidha Amelia

Bintang Sirius

Kali pertama ku bertatap
Ia seperti bintang

Kali pertama ku bertemu
Hangat matahari cairkan beku hati

Sesaat memori masalalu berbicara
Matanya, bibirnya
Indah

Bukan, dia bukan masalaluku
Hadirnya dengan sosok baru
Senyumnya dengan indah
Sama seperti dulu

Dia
Hadir yang baru

Secangkir Kopi

Kepulan asap secangkir kopi
Mewangi, teman malam ini

Hitam pekat
Manis melekat

Bertatap mata
Tak bertarung hati jiwa
Berpandang muka
Tak bertemu suka
Lelaki didepan tubuhku
Hanya diam membisu

Sesabit bulan disana
Tak bersuara!
Bagai tajam mata mengintai pertemuan kita
Berdua bersama
Namun tanpa irama

Mata bertemu mata
Tapi tak bersuara
Raga pun bersama
Tapi tak saling cinta

Dentingan hujan
Sosok pemecah keheningan
Antara kita

Sesaat lempar pandang
Tapi, lelaki itu
Tetap dingin!

Kepulan asap mewangi
Secangkir kopi
Pertemukan lelaki ini padaku
Panas, tak mampu cairkan beku
Cinta, nan lama tak akan bersatu 

TANAH KITA TANAH SURGA

Biru lautan luas membentang
Bening bagai mata sang garuda
Turunlah kedalam jauh memandang
Berjuta permata nan indah disana
Kita kaya sayang !

Tengok pandang jauh
Sejauh titik lautan yang kau tempuh
Renunglah sejenak
Dan dengarkan ceritaku sayang
Pahami kita punya apa?

Secangkir kopi
Adalah teman kita kali ini
Berkepul asap mewangi
Dari Indonesiaku nan permai

Tanah kita tanah surga
Surga dunia nan nyata
Hamparan yang menguning
Kian lama kian merunduk
Malulah pada sinar mentari

Amati begitu cantiknya
Bagai permadani tersulam benang emas
Gunung-gunung perkasa
Saksi bisu yang kita punya
Selamlah ke dasar samudera
Apa yang kau temui?
Disana, ikan menari nan elok berwarna
Senada seirama dari lagu sang ombak
Koral pun ikut mendayu
Tetap kokoh dalam dasar cinta


Sinar matahariku
Ceritakan tentang apa yang kita punya
Lalu,
Renyah camar tertawa
Dan lebarkan senyum sayapnya
Bernyanyi dibawah lantunan indah pelangi

Tanah kita tanah surga
Apa kau tak sadar juga?
Raba sayang
Apa yang melingkar pada jari-jarimu itu?
Elok mutiara, satu milik kita
Bukan yang kau pamerkan
Dari negeri tetangga !
Sentuhlah sayang
Lembut sutera yang kau lekatkan
Selembut cinta
Apa kau tau dari mana?
Bukan dari tetangga !
Itu milik sang garuda

Kita kaya
Lautan nan tenang
Meluas senyum teriring hangat mentari
Dibalik senyum tercipta banyak pesona
Hamparan tanah menguning keemasan
Itu juga milik kita
Maukah kau jaga, kau lindung, dan kau cinta?
Karena surga ini punya kita !
INDONESIA

Akhir Lembaran Bulan Maret

Jatuhan daun dentingkan sebuah melodi
Bergesek renyah
Seperti kentang, remuk renta
lalu,
Suara hujan sore tadi
Penutup rindu mewangi melati
Tajam menusuk lubang hidung
Setiap waktu berlalu
Detik demi detik menutup lembaran bulan Maret
Akhir semua cerita kita

Waktu sore di pantai itu
Sibuk berhembus angin kerinduan
Menggulunglah ombak-ombak cinta
Ia kekar bagai karang
Hapus segala memori
yang ku ukir di putih pasir

Lantunan merdu burung camar
temani kita habiskan
waarna jingga

Kalau tak beralas
Kukan telusuri jalan hidup
Biar kurasakan tajamnya batu koral
Biar kuresapi halus butiran putih, pantai

Maka,
Saat jinggaku hilang
Itu akhir cerita kelam
Lembar agendaku tertutup
Seiring dengan
Masuknya matahari
kepangkuannya . . .

Minggu, 22 Desember 2013

PERGI

Aku berjalan hingga hilang
Dirundung duka, kelam gulita
Aku berdiri selagi tak menitihkan air mata

Angin menerbangkan daun-daun kering
Ia tak berdaya
Aku hanya hilang, didekap sakit mencengkram
Hanyut terbawa irama kerinduan

Napasku terhenti sejenak
Air mata jatuh di bumi gersang
Terseret riuh angin lalu-lalang
Menempiskan gemuruh bisikan setan

Aku tertunduk dalam sepi
Tak perduli berisik suara orang menggema
Ada yang bertanya "untuk apa ia menangis dibawah hujan?"

Kebodohan ini membodohiku
Kebisuan ini membisukanku
Hanya hati berteriak meronta
Semakin kencang
Semakin dalam ia meronta

Ingin keluar dari kebosanan zaman
Biarkan ia pergi, berlalu diantara petir menggelegar
Biarkan ia pergi, dibawah nyanyian hujan

Setangkai Mawar

Kau ketuk pintu hatiku
Mengucap janji saling menyayangi
Kau datang dengan setangkai mawar
ditanganmu

Harum semerbak bagai pelangi
Diantara matahari hangatkan gelap hati

Lama-lama kau bosan
Hilir mudik bersamaan petir menggelegar
Datang hujan mengusik pelangi kita

Kau obrak-abrik rumah cintaku
Kau sayat hati dan jiwaku
Tanpa peduli
Semua berserakan
Semua hancur
dengan satu sentuhan

Kau hanya bermain dalam hatiku
Kau membuat semuanya jadi sayu
Jadikan mawar segar melayu

Semua telah hanyut terbawa hujan tangis
Namun kau tak rasakan gelap disini
Kau tak rasakan perih tersakiti
Setangkai mawarku layu, seirama perginya sosokmu
Setangkai mawarku berguguran senada gugurnya cintamu